Tulisan kali ini akan menguak sebagian paradoks (pertentangan) yang tanpa disadari sering dialami suatu negara, korporasi, organisasi, hingga masyarakat yang terlibat didalamnya.Ketika kita melihat suatu kebijakan dengan memakai "kata maca kuda", kita hampir selalu pasti melewatkan sisi pertentangan yang akan timbul dari kebijakan itu sendiri. Saya sering melihat bahwa, sebenarnya, kebijakan yang dibuat pada suatu negara, korporasi, organisasi dalam kurun waktu tertentu (cepat atau lama) memberikan dampak sebaliknya dari tujuan awal dibuatnya kebijakan itu sendiri, meskipun dampak yang dihasilkan itu terjadi di sisi lain dalam kehidupan bernegara, perusahaan, dan masyarakat.
Tulisan ini dipaparkan sesuai pemahaman/analisa saya, berdasarkan kondisi aktual yang terjadi, yang saya lihat, baca, dan pahami, tanpa adanya penelitian secara mendetail dari sisi ilmiah (biarkanlah para kandidat doktor, magister, yang melakukannya... hehehe)
1. Kesehatan masyarakat dalam angka harapan hidup di suatu negara.
Kebijakan:
Semua negara di dunia ini berlomba-lomba mengkampanyekan perlunya hidup sehat yang bertujuan untuk meningkatkan angka harapan hidup masyarakatnya. Melalui peningkatan angka harapan hidup, akan memampukan suatu negara secara efektif memaksimalkan sumberdaya manusianya untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Peningkatan angka harapan hidup ini dilihat dari sisi ekonomi suatu negara, akan mengurangi beban belanja negara untuk sektor kesehatan, dimulai dari belanja negara akan biaya-biaya terkait produksi obat-obatan (generik-red), penelitian, fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas), biaya tenaga kerja kesehatan...dan masih banyak lagi biaya terkait yang bisa diminimalisasi dengan semakin tingginya angka harapan hidup di suatu negara.
Paradoks:
Dengan semakin tingginya angka harapan hidup, berarti memampukan masyarakat untuk terus beraktifitas/bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya negara Eropa, angka harapan hidup di negara-negara Eropa mencapai 76 tahun. Dinegara-negara ini, usia pensiun mencapai 60 s.d. 75an tahun, bahkan ada yang mencapai usia 80 tahun, untuk semua tingkatan pendidikan (ini untuk pekerja, bukan untuk pengusaha. Pengusaha bisa dianggap pensiun kalau ybs memutuskan untuk pensiun).Di Indonesia, angka harapan hidup 56 tahun. Usia pensiun di Indonesia adalah 55 tahun (sarjana), 60 tahun (magister), dan bisa mencapai 70 tahun jika seseorang adalah guru besar (professor) di suatu universitas.Di eropa, adalah kewajiban untuk bekerja sampai usia tersebut diatas (kecuali meminta pensiun dini, yang berarti ybs akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya), sama seperti di Indonesia, kewajiban bekerja adalah sampai usia tersebut diatas. Bisa dibayangkan, bagi sebagian orang, bekerja di hari tua adalah hal yang paling memberatkan dilakukan, apalagi di Indonesia. Siapa yang mau menghabiskan hidupnya sampai tua hanya untuk bekerja? Anda mau bekerja sampai tua? Practically, jika adapun disediakan jamsostek, yang diberikan setelah pensiun, apakah menurut anda, masih bisa menikmati jamsostek itu? Kemungkinan anda meninggal sebelum menikmati jaminan tsb adalah tinggi di negara-negara eropa.Disisi korporasi, kondisi diatas dapat memberikan kontribusi penghematan terhadap anggaran pensiun pekerjanya. Tetapi dilain sisi, meningkatkan biaya jaminan kesehatan pekerjanya, bisa dibayangkan jika sebagian besar pekerja adalah manula (dgn usia tsb diatas) masih bekerja, kemungkinan terserang penyakit akan semakin tinggi, yang disebabkan penurunan kemampuan tubuh dalam menangkal serangan penyakit (cthnya: flu).Disisi kehidupan bernegara, coba lihat Jepang. Dengan kondisi angkatan kerjanya yang mencapai usia manula saat ini, Jepang di 20 tahun yang akan datang akan mengalami kesulitan untuk memenuhi pangsa tenaga kerjanya, disebabkan rendahnya angkatan kerja muda (yang kebanyakan berasal dari rendahnya angka kelahiran di Jepang). Amerika, Perancis, Jerman, mengalami kesulitan dalam menurunkan angka pengangguran, karena sedikitnya lapangan kerja yang tersedia (posisi/pekerjaan kebanyakan masih diisi angkatan tua di negara-negara tersebut).
Jadi, posisi mana sebenarnya yang paling menguntungkan untuk kebijakan ini?
2. Inflasi/deflasi
Kebijakan:
Kita sering dihadapkan pada berita bahwasanya Rupiah mengalami inflasi, tertekan terhadap US dollar, yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang dipasar. Tetapi disi lain sebenarnya inflasi (ataupun deflasi) memiliki kelebihan dan kekurangan, jika dimanage dengan baik.Indonesia lebih sering terdengar menjaga nilai mata uangnya supaya tidak mengalami inflasi yang lebih rendah lagi, sehingga dapat menjaga kestabilan harga barang dipasar, pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang semakin baik. Sering sekali BI melepas dollar ke pasar sebagai tindakan instant untuk menjaga kestabilan nilai rupiah, atau dengan membeli kembali obligasi negara.
Paradoks:
Deflasi, Jepang selama kurun waktu 15 tahun mata uangnya belum pernah mengalami gejolak yang cukup tinggi, yang dapat menyebabkan turunya nilai mata uang Yen. Jepang bahkan mengalami deflasi atas mata uangnya. Tetapi karena hal ini, sekarang Jepang kesulitan untuk menjual produk-produknya ke negara lain, belum lagi tenaga kerjanya yang membutuhkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia.Negara RRC dengan renmimbi-nya, memiliki nilai mata uang yang cukup rendah dibandingkan Amerika, Jepang, dan negara-negara eropa lainnya. Dillihat dari sisi ekonominya, RRC memiliki keuntungan yang signifikan jika negara tsb meng-ekspor produk, tenaga kerja, ke luarnegeri. Penjualan yang masif atas produk dan tenaga kerja Cina, dengan nilai produksi yang rendah di negara itu, membuat Cina menjadi negara pengekspor terbesar untuk produk-produk IT, retail, mesin, yang membuat Amerika dan negara-negara Eropa tergerus pangsa pasarnya di dunia. Cina juga mengimpor tenaga kerja dan barang, tetapi volume ekspor Cina melebihi nilai impornya, sehingga neraca perdagangan Cina mengalami surplus dalam pelaporan keuangannya, dan seiring dengan itu meningkatkan pertumbuhan ekonominya.Inflasi, sangat menguntungkan bagi negara, korporasi yang mengekspor produk/tenaga kerja.Deflasi, sangat menguntungkan bagi negara, korporasi yang mengimpor produk/tenaga kerja.
Indonesia, berada di negara mana?
3. Angkatan bersenjata.
Kebijakan:
Kebanyakan negara mengambil kebijakan untuk memperkuat angkatan bersenjatanya, dalam misi "tujuan damai". Setiap negara berlomba-lomba membeli peralatan tempur, persenjataan, pesawat tempur, kapal perang, sampai pengembangan senjata mutakhir yang bisa efektif dan efisien melumpuhkan negara lawan.
Paradoksnya:
Semakin besar dan canggih angkatan bersenjata suatu negara, semakin banyak terlibat dalam peperangan dan semakin banyak berbuat tindakan yang mengancam keamanan suatu wilayah. Banyak contohnya bukan?
4. Pendidikan tinggi
Kebijakan:
Pemahaman terdahulu dan masa kini, dengan pendidikan tinggi, seseorang akan mendapatkan pengetahuan lebih luas akan bidang yang digelutinya (dipelajarinya), sehingga dapat bersaing secara leluasa.
Paradoks:
Semakin tinggi pendidikan, maka semakin terfokus pada satu bidang yang diteliti/dipelajari/dipahami. Memang pengetahuan akan semakin luas, tetapi pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang secara khusus tertuju hanya pada yang dipelajar. Seorang sarjana elektro, yang mengambil S2 di teknik energi, dan s3 di power study, akan memiliki pengetahuan luas tentang keteknikan tenaga listrik, tapi tidak mungkin memahami lebih luas tentang ekonomi yang dipelajarinya sewaktu SMU.
No comments:
Post a Comment
Silahkan mengisi komentar anda pada kolom yang telah disediakan.
Kindly have me your comment at the provided column below.